Fiqih Muamalah- Jual Beli Dalam Pandangan Islam



 JUAL BELI

PENGERTIAN JUAL BELI, DASAR HUKUM, SYARAT DAN RUKUN, BENTUK-BENTUK JUAL BELI, MANFAAT DAN HIKMAH JUAL BELI


 Jual beli merupakan akad yang umum digunakan oleh masyarakat, karena dalam setiap pemenuhan kebutuhannya, masyarakat tidak bisa berpaling untuk meninggalkan akad ini. Untuk mendapatkan makanan dan minuman misalnya, terkadang ia tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan itu dengan sendirinya, tapi akan membutuhkan dan berhubungan dengan orang lain, sehingga kemungkinan besar akan terbentuk akad jual beli. Pada umumnya, orang memerlukan benda yang ada pada orang lain (pemiliknya) dapat dimiliki dengan mudah, tetapi pemiliknya kadang-kadang tidak mau memberikannya. Adanya syariat jual beli menjadi wasilah (jalan) untuk mendapatkan keinginan tersebut, tanpa berbuat salah. Jual beli menurut Bahasa, artinya menukar kepemilikan barang dengan barang atau saling tukar menukar. Dalam jual beli, kita akan mengenal istilah khiyar. M. Abdul Mijieb mendefinisikan: “Khiyar adalah hak memilih atau menentukan pilihan antara dua hal bagi pembeli dan penjual, apakah akad jual beli akan diteruskan atau dibatalkan”. Hak khiyar dalam jual beli, menurut Islam dibolehkan, apakah akan meneruskan jual beli atau membatalkannya, tergantung keadaan (kondisi) barang yang diperjualbelikan

A. Pengertian Jual Beli
Jual beli atau perdagangan dalam istilah fiqh disebut al-ba’i yang menurut etimologi berarti menjual atau mengganti.Wahbah al-Zuhaily1 mengartikannya secara bahasa dengan “menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain”. Kata al-ba’I dalam Arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yaitu kata al-syira’(beli). Dengan demikian, kata al-ba’I berarti jual, tetapi sekaligus juga berarti beli.
Secara terminology, terdapat beberapa definisi jual beli yang dikemukakan para ulama fiqh, sekalipun substansi dan tujuan masingmasing definisi sama. Sayyid Sabiq,2 mendifinisikannya dengan:
“Jual beli ialah pertukaran harta dengan harta atas dasar saling merelarakan”. Atau, “memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan”.
Dalam definisi di atas terdapat kata “harta”, “milik”, “dengan”, “ganti” dan “dapat dibenarkan” (al-ma’dzun fih). Yang dimaksud harta dalam definisi di atas yaitu segala yang dimiliki dan bermanfaat, maka dikecualikan yang bukan milik dan tidak bermanfaat, yang dimaksud milik agar dapat dibedakan dengan yang bukan milik, yang dimaksud dengan ganti agar dapat dibedakan dengan hibah (pemberian), sedangkan yang dimaksud dapat dibenarkan (al-ma’dzun fih) agar dapat dibedakan dengan jual beli yang terlarang.
Definisi lain dikemukakan oleh ulama Hanafiah yang dikutip oleh Wahbah al-Zuhaily,3 jual beli adalah :
“Saling tukar harta dengan harta melalui cara tertentu”. Atau, “tukar-menukar sesuatu yang diinginkan dengan yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat”.
Dalam definisi ini terkandung pengertian”cara yang khusus”, yang dimaksudkan ulama Hanafiah dengan kata-kata tersebut adalah melalui ijab dan Kabul, atau juga boleh melalui saling memberikan barang dan harga dari penjual dan pembeli. Di samping itu, harta yang diperjualbelikan harus bermanfaat bagi manusia, sehingga bangkai, minuman keras, dan darah tidak termasuk sesuatu yang boleh diperjualbelikan, karena benda-benda itu tidak bermanfaat bagi manusia. Apabila jenis-jenis barang seperti itu tetap diperjualbelikan, menurut ulama Hanafiyah, jual belinya tidak sah.4
Definisi lain yang dikemukakan Ibn Qudamah (salah seorang ulama Malikiyah), yang juga dikutip oleh Wahbah al-Zuhaily,5  jual beli adalah:
“Saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan kepemilikan”.
Dalam definisi ini ditekankan kata “milik dan kepemilikan”, karena ada juga tukar-menukar harta yang sifatnya tidak harus dimiliki, seperti sewa-menyewa (al-ijarah). 


Baca juga : Jual Beli Khiyar

B. Dasar Hukum
Jual Beli Al-ba’i atau jual beli merupakan akad yang diperbolehkan, hal ini berlandaskan atas dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur’an, Al-Hadits ataupun ijma ulama. Di antara dalil yang memperbolehkan praktik akad jual beli adalah sebagai berikut:6
1. QS an-Nisaa (4): 29:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamemu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela diantaramu.”
Ayat ini merujuk pada perniagaan atau transaksi-transaksi dalam muamalah yang dilakukan secara bathil. Ayat ini mengiindikasikan bahwa Allah SWT melarang kaum muslimin untuk memakan harta orang lain secara bathil. Secara bathil dalam konteks ini memiliki arti yang sangat luas, diantaranya melakukan transaksi ekonomi yang bertentangan dengan sara, seperti halnya dengan melakukan transaksi berbasis riba (bunga), transaksi yang bersifat spekulatif (maisir, judi) ataupun transaksi yang mengandung unsur gharar (adanya uncertainty/resiko dalam transaksi).
2. QS al-Baqarah (2): 275 :
“…dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…”
Ayat ini merujuk pada kehahalan jual beli dan keharaman riba. Ayat ini menolak argumen kaum musrikin yang menentang disyari’atkannya jual beli dalam al-Qur’an. Kaum musrikin tidak mengakui konsep jual beli yang telah disyari’atkan Allah dalam al-Qur’an dan menganggapnya identic dan sama dengan system ribawi. Untuk itu, dalam ayat ini, Allah mempertegas legalitas dan keabsahan jual beli secara umum serta menolak dan melarang konsep ribawi.
3. QS al-Baqarah (2): 198 :
“…tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia Tuhanmu…”
Ayat ini merujuk pada keabsahan menjalankan usaha guna mendapatkan anugerah dari Allah. Menurut riwayat Ibnu Abbas dan Mujahid, ayat ini diturunkan untuk menolak anggapan bahwa menjalankan usaha dan perdagangan pada musim haji merupakan perbuatan dosa, karena musim haji saat-saat untuk mengingat Allah (dzikir). Ayat ini sekaligus memberikan legalisasi atas transaksi ataupun perniagaan yang dlakukan saat musi  haji (tafsir Ibnu Katsir), jilid 1 halamn 360.
Ayat ini juga mendorong kaum muslimin untuk melakukan perjalanan usaha dalam kerangka mendpatkan anugerah dari Allah. Dalam konteks akad jual beli, Ia merupakan akad antara dua pihak, guna menjalankan sebuah usaha dalam kerangka untuk memenuhi kebutuhan hidup, karena pada dasarnya manusia saling mmebutuhkan, dengan demikian legalitas operasioanlnya mendapatkan pengakuan dari syara’.
4. Dari Abu Said al-Hudri bahwa Rasulullah SAW bersabda,
“sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka” (HR. AlBaihaqi dan Ibnu Majah).
Hadis ini merupakan dalil keabsahan jual beli secara umum. Menurut Wahbah Zuhaili, hadits ini terbilang hadits yang panjang, namun demikian hadits ini mendapat pengakuan keshohihannya dari Ibnu Hibban. Hadits ini memberika prasyarat bahwa jual beli harus dilakukan dengan adanya kerelaan masing-masing pihak ketika melakukan transaksi.
5. Ulama muslim sepakat (ijma’) atas kebolehan akad jual beli. Ijma’ ini memberikan hikmah bahwa kebutuhan manusia berhubungan dengan sesuatu yang ada pada kepemilikian orang lain, dan kepemilikan sesuatu itu tidak akan diberikan dengan begitu saja, namun terdapat konpensasi yang harus diberikan. Dengan disyari’atkannya, jual beli merupakan salah satu cara untuk merealisasikan keinginan dan kebutuhan manusia, karena pada dasarnya, manusia tidak dapat hidup tanpa bantuan oranglain (Zuhaili, 1989, jilid IV, hlm. 346).
Berdasarkan atas dalil-dalil yang diungkapkan, jelas sekali bahwa praktik akad jual beli mendapatkan pengakuan dan legalitas dari syara’, dan sah untuk dilaksanakan dan bahkan dioperasionalkan dalam kehidupan manusia.
C. Hukum Jual Beli
Para ualam fiqh mengatakan bahwa hukum asal dari jual beli yaitu mubah (boleh)7. Akan tetapi, pada situasi-situasi tertentu , menurut Imam al-Syathibi, pakar fiqh Maliki, hukumnya bisa berubah menjadi wajib. Ia memberi contoh ketika terjadi paktik ihtikar, yaitu penimbunan barang sehingga barang menjadi langka dan akan dijual dengan harga yang tinggi, maka menurutnya, pihak pemerintah boleh memaksa pedagang untuk menjual barang barangnya itu sesuai dengan harga sebelum terjadinya pelonjokan harga. Dalam hal ini, menurutnya, pedagang itu wajib menjual barangnya sesuai dengan ketentuan pemerintah.8 Hal ini sesuai dengan alSyathibi bahwa yang mubah itu apabila ditinggalkan secara total, maka hukumnya boleh menjadi wajib. Apabila sekelompok pedagang besar melakukan boikot tidak mau menjual beras lagi, pihak pemerintah boleh memaksa mereka untuk berdagang beras dan para pedagang ini wajib melaksanakannya. Demikian pula, pada kondisi-kondisi lainnya.
D. Rukun dan Syarat Jual Beli
Jual beli mempunyai rukun dan syarat yang harus dipenuhi, sehingga jual beli itu dapat dikatakan sah oleh syara’. Dalam menentukan rukun jual beli terdapat perbedaan pedapat ulama Hanafiyah dengan jumhur ulama.
Rukun jual beli menurut ulama Hanafiyah hanya satu, yaitu ijab (ungkapan membeli dari pembeli) dan Kabul (ungkapan menjual dari penjual). Menurut mereka, yang menjadi rukun dalam jual beli itu hanyalah kerelaan (rida/taradhi) kedua belah pihak untuk melakukan transaksi jual beli.  
Akan tetapi, jumhur ulama menyatakan bahwa rukun jual beli itu ada empat,9 yaitu:
1. Ada orang yang berakad atau al-muta’aqidain (penjual dan pembeli)
2. Ada shighat (lafal ijab dan Kabul)
3. Ada barang yang dibeli
4. Ada nilai tukar pengganti barang
Menurut ulama Hanafiah, orang yang berakad, barang yang dibeli, dan nilai tukar barang termasuk ke dalam syarat-syarat jual beli, bukan rukun jual beli.
Adapun syarat-syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli yang dikemukakan jumhur ulama di atas sebagai berikut:10
a. Syarat-syarat orang yang berakad Para ulama fiqh sepakat bahwa orang yang melakukan akad jual beli itu harus memenuhi syarat:
1) Berakal. Oleh sebab itu, jual beli yang dilakukan anak kecil yang belum berakal dan orang gila, hukumya tidak sah. Adapun anak kecil yang telah mumayiz, menurut ulama Hanafiyah, apabila akad yang dilakukannya membawa keuntungan bagi dirinya, seperti menerima hibah, wasita, dan sedekah, maka akadnya sah.
2) Yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda. Artinya, seseoran tidak dapat bertindak dalam waktu yang bersamaan sebagai penjual sekaligus pembeli. Misalnya, Ahmad menjual sekaligus membeli barangnya sendiri, maka jual belinya tidak sah.
b. Syarat-syarat yang terkait Ijab Kabul Para ulama fiqh mengemukakan bahwa syarat ijab dan Kabul itu sebagai berikut:11
1) Orang yang mengucapkannya telah balig dan berakal, menurut jumhur ulama, atau telah berakal menurut ulama Hanafiyah, sesuai dengan perbedaan mereka dalam syaratsyarat orang yang melakukan akad.
2) Kabul sesuai dengan ijab. Misalnya, penjual mengatakan: “Saya jual buku ini seharga Rp 20.000” lalu pembeli menjawab: “Saya beli buku ini seharga Rp 20.000”. Apabila antara ijab dan Kabul tidak sesuai maka jual beli tidak sah
3) Ijab dan Kabul dilaksanakan dalam satu majelis. Artinya, kedua belah pihak yang melakukan jual beli hadir dan membicarakan topik yang sama. Apabila penjual mengucapkan ijab, lalu pembeli pergi sebelum mengucapkan Kabul, atau pembeli mengerjakan aktivitas lain, maka menurut kesepakatan ulama fiqh, jual beli ini tidak sah.
c. Syarat-syarat Barang yang Diperjualbelikan (Ma’qud ‘alaih) Syarat-syarat yang terkait dengan barang yang diperjualbelikan sebagai berikut:12

1) Barang itu ada, atau tidak ada di tempat, tetapi pihak penjual menyatakan kesanggupannya untuk mengadakan barang itu. Misalnya, di satu toko karena tidak mungkin memajang barang semuanya maka sebagian diletakkan pedagang di gudang, tetapi secara meyakinkan barang itu boleh dihadirkan sesuai dengan persetujua pembeli dengan penjual.
2) Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia. Oleh sebab itu, bangkai, khamar, dan darah tidak sah menjadi objek jual beli, karena dalam pandangan syara’ benda-benda seperti ini tidak bermanfaat bagi muslim
3) Milik seseorang. Barang yang sifatnya belum dimiliki seseorang tidak boleh diperjualbelikan, seperti memperjualbelikan ikan di laut atau emas dalam tanah, karena ikan dan emas ini belum dimiliki penjual.
4) Boleh diserahkan saat akad berlangsung atau pada waktu yang disepakati bersama ketika transaksi berlangsung.
d. Syarat-syarat Nilai Tukar (Harga Barang)
Terkait dengan masalah nilai tukar ini para ulama fiqh membedakan al-tsaman dengan al-si’r. Menurut mereka, altsaman adalah harga pasar yang berlaku di tengah-tengah masyarakat secara actual, sedangkan al-si’r adalah modal barang yang seharusnya diterima para pedagang sebelum dijual ke konsumen. Dengan demikian, harga barang itu ada dua, yaitu harga antar pedagang  dan harga antara pedagang dengan konsumen. Oleh sebab itu, harga yang dapat dipermainkan oleh para pedagang adalah al-tsaman.
Para ulama fiqh mengemukakan syarat-syarat al-tsaman sebagai berikut:13
1) Harga disepakati kedua belah pihak harus jelas jumlahnya.
2) Boleh diserahkan pada waktu akad, sekalipun secara hokum seperti pembayaran dengan cek dan kartu kredit. Apabila harga barang tu dibayar kemudian (berutang) maka waktu pembayaranya harus jelas.
3) Apabila jual beli itu dilakukan dengan saling mempertukarkan barang (al-muqayadhah) maka barang yang dijadikan nilai tukar bukan barang yang diharamkan oleh syara’, seperti babi dan khamar, karena kedua jenis benda ini tidak bernilai menurut syara’.
E. Bentuk-bentuk Jual Beli 
Secara umum jual beli dibagi mejadi dua macam, yaitu jual beli yang bathil dan jual beli yang shahih. Jual beli bathil yaitu jual beli yang tidak memenuhi syarat dan rukun yang sesuai degan syara’. Sedangkan jual beli shahih yaitu jual beli yang dilakukan dengan memenuhi syarat rukun syara’.
Ditinjau dari segi benda yang dijadikan objek jual beli, maka dapat dikemukakan pendapat Imam Taqiyyudin, bahwa bahwa jual beli dibagi menjadi tiga bentuk, sebagai berikut.14
“Jual beli itu ada tiga macam: 1) jual beli benda yang kelihatan, 2) jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam janji, dan 3) jual beli benda yang tidak terlihat.”
Jual beli benda yang terlihat ialah  pada waktu melakukan akad, benda atau barang yang diperjualbelikan ada di depan penjual dan pembeli. Hal ini lazim dilakukan masyarakat banyak dan boleh dilakukan, seperti membeli beras di pasar.

Jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam perjanjian ialah jual beli salam (pesanan). Menurut kebiasaan para pedagang, salam jual dilakukan untuk jual beli yang tidak tunai (kontan). Salam pada awalnya berarti meminjamkan barang atau sesuatu, maksudnya ialah perjanjian yang penyerahan barang-barangnya ditangguhkan hingga masa tertentu, sebagai imbalan harga yang telah ditetapkan ketika akad.
Adapun jual beli yang dilarang dibagi menjadi dua, yaitu pertama : Jual beli yang dilarang dan hukumnya tidak sah (batal), yaitu jual beli yang tidak memenuhi syarat dan rukunnya. Kedua: jual beli yang hukumnya sah tetapi dilaran, yaitu jual beli yang telah memenuhi syarat dan rukunnya, tetapi ada beberapa factor yang menghalangi kebolehan proses jual beli.15
1. Jual beli terlarang karena tidak memenuhi syarat dan rukun. Bentuk jual beli yang termasuk dalam kategori ini sebagai berikut:
a. Jual beli barang yang zatnya haram, najis, atau tidak boleh diperjualbelikan. Barang yang najis atau haram dimakan haram juga untuk diperjualbelikan, seperti babi, berhala, bangkai, dan khamr (minuman yang memabukkan). Rasulullah saw, bersabda:  “Sesungguhnya Allah apabila mengharamkan memakan sesuatu maka Dia mengharamkan juga memperjualbelikannya”
b. Jual beli yang belum jelas.16 Sesuatu yang bersifat spekulasi atau samar-samar haram untuk diperjualbelikan, karena dapat merugikan salah satu pihak, baik penjual,, maupun pembeli. Yang dimaksud dengan samar-samar adalah adalah tidak jelas, baik barangnya, harganya, kadarnya, masa pembayarannya, maupun ketidakjelasan yang lainnya. Jual beli yang dilarang karena samar-samar anatara lain :

1) Jual beli buah-buahan yang belum tampak hasilnya. Misalnya, menjual putik mangga untuk dipetik kalua telah tua/masak nanti. Termasuk dalam kelompok ini adalah larangan menjual pohon secara tahunan. Sabda Nabi saw : “Dari Anas bin Malik r.a bahwa Rasulullah saw. Melarang menjual buah-buahan sehingga tampak dan matang” (Hadis ini disepakati Bukhari Muslim)
2)  Jual beli barang yang belum tampak. Misalnya, menjual ikan di kolam/laut, menjual ubi/singkong yang masih ditanam, menjual anak ternak yang masih dalam kandungan induknya. Berdasarkan sabda Nabi saw.: “Dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi saw melarang memperjualbelikan anak hewan yang masih dalam kandungan induknya”. (HR. al-Bazzar).
b. Jual beli bersyarat.17 Jual beli yang ijab kabulnya dikaitkan dengan syarat-syarat tertentu yang tidak ada kaitannya dengan jual beli atau ada unsur-unsur yang merugikan dilarang oleh agama. Contoh jual beli bersyarat yang dilarang, misalnya ketika terjadi ijab Kabul si pembeli berkata: “Baik, mobilmu saya beli sekian dengan syarat anak gadismu harus menjadi istriku”. Atau sebaliknya si penjual berkata: “Ya, saya jual mobil ini kepadamu sekian asal anak gadismu menjadi istriku.” Dalam kaitan ini Nabi saw. Bersabda:
“Setiap syarat yang tidak terdapat dalam kibaullah maka ia batal walupun seratus syarat”. (Disepakati oleh Bukhari dan Muslim)
c. Jual beli yang menimbulkan kemudaratan.
Segala sesuatu yang dapat menimbulkan kemudaratan, kemaksiatan, bahkan kemusyrikan dilarang untuk diperjualbelikan, seperti jual beli patung, salib, dan buku-buku bacaan porno. Memperjualbelikan barang-barang ini dapat menimbulkan perbuatan-perbuatan maksiat. Sebaliknya, dengan dilarangnya jual beli barang ini, maka hikmahnya minimal dapat mencegah dan menjauhkan manusia dari perbuatan dosa dan maksiat, sebagaimana firman Allah dalam surah al-Midah ayat 2 :
“…dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”
d. Jual beli muhaqalah, yaitu menjual tanam-tanaman yang masih di sawah atau di lading. Hal ini dilarang agama karena jual beli ini masih samar-samar (tidak jelas) dan emngandung tipuan.
e. Jual beli mukhadharah, yaitu menjual buah-buahan yang masih hijau (belum pantas dipanen). Seperti menjual rambutan yang masih hijau, mangga yang masih kecil-kecil. Hal ini dilarang agama karena barang ini maih samar, dalam artian mungkin saja buah ini jatuh tertiup angina tau layu sebelum di ambil pembelinya.  
f. Jual beli mulamasah yaitu jual beli secara sentuh-menyentuh. Misalnya, seseorang menyentuh sehelai kain dengan tangannya, maka orang yang menyentuh berarti telah membeli kain ini. Hal ini dilarang agama karena mengandung tipuan dan kemungkinana akan menimbulkan kerugian dari salah satu pihak
g. Jual beli munabadzah, yaitu jual beli secara lempar-melempar. Seperti seseorang berkata: “Lemparkan kepadaku apa yang ada padamu, nanti kulemparkan pula kepadamu apa yang ada padaku. ”Setelah terjadi lempar-melempar terjadilah jual beli. Hal ini dilarang agama karena mengandung tipuan dan tidak ada ijab kabul.
h. Jual beli muzabanah yaitu, yaitu menjual buah yang basah dengan buah yang kering. Seperti menjual padi kering dengan bayaran padi basah sedang ukurannya dengan ditimbang (dikilo) sehingga akan merugikan pemilik padi kering.18
Jual beli tersebut dilarang sesuai dengan sabda Rasulullah saw:  
“Dari Anas r.a berkata: Rasulullah saw. Telah melarang jual beli muhalaqah, mukhadharah, mulamasah, munabadzah, dan muzabanah.” (HR. Bukhari)
1. Jual beli terlarang karena ada factor lain yang merugikan pihakpihak tertentu.19
a. Jual beli barang yang sedang ditawar oleh orang lain, seperti seorang berkata, “Tolaklah harga tawarannya itu, nanti aku yang membeli dengan harga yang lebih mahal.”. Hal ini dilarang karena akan menyakitkan hati orang lain. Rasulullah saw bersabda:
“Tidak boleh seseorang menawar di atas tawaran saudaranya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
b. Jual beli dengan menghadang dagangan di luar kota/pasar. Maksudnya adalah menguasai barang sebelum sampai ke pasar agar dapat membelinya dengan harga murah, sehingga ia kemudian menjual di pasar dengan harga yang juga lebih murah. Tindakan ini dapat merugikan para pedagang lain, terutama yang belum mengetahui harga pasar. Jual beli seperti ini dilarang karena dapat mengganggu kegiatan pasar, meskipun akadnya sah.
c. Membeli barang dengan memborong untuk ditimbun, kemudian akan dijual ketika harga naik karena kelangkaan barang tersebut. Jual beli seperti ini dilarang karena menyiksa pihak pembeli disebabkan mereka tidak memperoleh barang keperluannya saat harga masih normal. Dalam kaitan ini Rasulullah saw. Bersabda: “Tidak ada orang yang menahan barang kecuali orang yang berbuat salah”. (HR. Muslim)
d. Jual beli barang rampasan/curian. Jika si pembeli telah tahu bahwa barang itu barang curian/rampasab, maka keduanya telah bekerja sama dalam perbuatan dosa. Oleh karena itu, jual beli semcam ini dilarang. Nabi saw. bersabda: “Barang siapa yang membeli barang curian seangkan ia tahu bahwa barang itu barang curian makai a ikut dalam dosa dan kejelekannya”. (HR. Baihaqi)
F. Manfaat dan Hikmah Jual beli20
1. Manfaat jual beli
a. Jual beli dapat menata struktur kehidupan ekonomi masyarakat yang menghargai hak milik orang lain.
b. Penjual dan pembeli dapat memenuhi kebutuhannya atas dasar kerelaan atau suka sama suka.  
c. Masing-masing pihak merasa puas. Penjual melepas barang dagangannya dengan ikhlas dan menerima uang, sedangkan pembeli memberikan uang dan menerima barang dagangannya dengan puas pula. Dengan demikian, jual beli juga mampu mendorong untuk saling bantu antara keduanya dalam kebutuhan sehari-hari.
d. Dapat menjauhkan diri dari memakan atau memiliki barang yang haram (bathil).
e. Penjual dan pembeli mendapat rahmat dari Allah swt.
f. Menumbuhkan ketenteraman dan kebahagiaan,
2. Hikmah jual beli.
Allah swt mensyriatkan jual beli sebagai pemberian keluangan dan keleluasaan kepada hamba-hamba-Nya, karena semua manusia secara pribadi mempunyai kebutuhan berupa sandang, pangan, papan. Kebutuhan seperti ini tak pernah putus selama manusia masih hidup. Tak seorangpun dapat memenuhi hajat hidupnya sendiri, karena itu manusia dituntut berhubungan satu sama lainnya. Dalam hubungan ini, taka da satu pun yang lebih sempurna daripada saling tukar, dimana seseorang memberikan apa yang ia miliki untuk kemudian ia memperoleh sesuatu yang berguna dari orang lain sesuai dengan kebutuhannya masing-masing.




Fiqih Muamalah- Jual Beli Dalam Pandangan Islam
4/ 5
Oleh