Penyelesaian sengketa bisnis arbitrase - Model penyelsaian sengketa dan macam-macam arbitrase




Mengamati kegiatan bisnis yang jumlah transaksinya ratusan setiap hari, tidak mungkin dihindari terjadinya sengketa (dispute/difference) antar pihak yang terlibat. Setiap jenis sengketa yang terjadi selalu menuntut pemecahan dan penyelesaian yang cepat. Makin banyak dan luas kegiatan perdagangan, frekuensi terjadi sengketa semakin tinggi. Ini berarti makin banyak sengketa yang harus diselesaikan.

Membiarkan sengketa dagang terlambat diselesaikan akan mengakibatkan perkembanga pembangunan tidak efisien, produktivitas menurun, dunia bisnis mengalami kemandulan dan biaya produksi meningkat. Konsumen adalah pihak yang paling dirugikan, disamping itu peningkatan kesejahtraan dan kemajuan social kaum pekerja juga terhambat.
Kalaupun akhirnya hubungan bisnis ternyata menimbulkan sengketa diantara pihak yang terlibat, peranan penasihat hukum dalam menyelesaikan masalah / sengketa itu dihadapkan pada alternatif penyelesaian yang dirasakan paling menguntungkan kepentingan kliennya.

Sehubung dengan itu perlu dicari dan dipikirkan cara dan system penyelesaian sengketa yang cepat, efektif dan efisien. Untuk itu harus dibina dan diwujudkan suatu system penyelesaian sengketa yang dapat menyesuaikan diri dengan laju perkembangan perekonomian dan perdagangan dimasa yang akan datang. Dalam menghadapi liberalisasi perdagangan harus ada lembaga yang dapat diterima dunia bisnis dan memiliki kemampuan system menyelesaikan sengketa dengan cepat dan biaya murah (Quick and lower in time and money to the parties).

Pengertian Penyelesaian Sengketa Bisnis

Beberapa ahli telah mendefinisikan APS, sebagai contoh Staanford M. Altschul berpendapat bahwa APS itu adalah:
"A trial of a case before a private tribunal agreed to by the parties so as to save legal coast, avoid publicity, and avoid lengthy trial delays".
Sedangkan Phillip D. Bostwick berpendapat bahwa Aps adalah sebagai berikut: Aset of practices and legal techniques that aim :
  1. To permit legal disputes to resolved outside the courts for the benefit of all disputants.
  2. To reduce the cost of conventional litigation and the delay to which it is ordinary subjected.
  3. To prevent legal disputes that would otherwise likely to be brought to the courts.
Black’s law dictionary mendefinisikan APS sebagai a procedure for settling a dispute by means other than litigation, such as arbitration or mediation. Definisi APS dalam Black’s Law Dictionary memiliki defeinisi yang berbeda dengan definisi APS yang diatur dalam UU No 30 Tahun 1999. Dimana pasal 1 angka 10 UU No 30 tahun 1999, mendefinisikan APS sebagai lembaga penyelsaian sengkta atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian diluar pengadilan dengan cara konsultasu, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli.

Dapat dilihat bahwa Black’s Law Dictionary memasukan arbitrase kedalam APS, sedangkan UU No 30 Tahun 1999 membedakan arbitrase dengan APS. Istilah APS ini dalam Bahasa inggris disebut Alternative Dispute Resolution, sedangkan pengguna istilah APS dalam forum ICC dikenal dengan Amicable Dispute Resolution.

Dalam perancangan UU N0 30 tahun 1999, Prof Mr. Mr. Dr. Sudargo Gautama menyatakan bahwa terdapat 2 (dua) aliran dalam APS, yaitu aliran yang menyatakan bahwa arbitrase terpisah dari APS dan aliran yang menyatakan bahwa arbitrase termasuk dalam APS. Namun demikian, pada saat disahkan dan diungkapkannya UU No. 30 Tahun 1999, arbitrase dipisahkan dari APS.

Berdasarkan definisi diatas yang telah diuraikan, maka dapat disimpulkan bahwa APS adalah pranata penyelesaian sengketa diluar pengadilan berdasarkan kesepakatan para pihak dengan mengesampingkan penyelesaian sengketa melalui proses litigasi dipengadilan.

Model – Model Alternatif Penyelesaian Sengketa

1.Negosiasi

Negosiasi adalah fact of life atau keseharian. Setiap orang melakukan negosiasi dalam kehidupan sehari – hari seperti mitra dagang, kuasa hukum salah satu pihak yang bersengketa. Negosiasi adalah basic of means untuk mendapatkan apa yang diinginkan dari orang lain.

Negosiasi merupakan komunikasi 2 arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belak pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama mampu maupun yang berbeda. Negosiasi merupakan sarana bagi pihak – pihak yang mengalami sengketa untuk mendiskusikan penyelsaiannya tanpa keterlibatan pihak ketiga penengah, yang tidak berwenang mengambil keputusan (mediasi), maupun pihak ketiga mengambil keputusan (arbitrase dan litigasi).

2.Mediasi

Dalam kepustakaan, setidaknya dapat ditemukan 10 definisi tentang mediasi yang dirumuskan para penulis, Nolan Haley dan Kovach merumuskan definisi mediasi. Nolan Haley mengemukakan definisi: “a short structured task oriented, participatory invention process. Disputing parties work with a neutral third party, the mediator, to reach a mutually acceptable agreement”. Sedangkan Kovach mendefinisikan sebagai berikut: “Facilitated negotiation. It pricess by which a neutral third party, the mediator, assist disputing parties in reaching a mutually satisfaction solution”.

3.Konsiliasi

Hal yang menarik mengenai konsiliasi adalah konsiliasi pada dasarnya hampir sama dengan mediasi, mengingat terdapat keterlibatan pihak ke-3 yang netral (yang tidak memihak) yang diharapkan dapat membantu para pihak dalam upaya penyelesaian sengketa mereka, yaitu konsiliator. Namun demikian, Anda perlu perhatikan bahwa konsiliator pada umumnya memiliki kewenangan yang lebih besar daripada mediator, mengingat ia dapat mendorong atau “memaksa” para pihak untuk lebih kooperatif dalam penyelesaian sengketa mereka. Konsiliator pada umum dapat menawarkan alternatif-alternatif penyelesaian yang digunakan sebagai bahan pertimbangan oleh para pihak untuk memutuskan. Jadi, hasil konsiliasi, meskipun merupakan kesepakatan para pihak, adalah sering datang dari si konsiliator dengan cara “mengintervensi”. Dalam kaitan itu, konsiliasi dalam banyak hal mirip dengan mediasi otoritatif di mana mediator juga lebih banyak mengarahkan para pihak.

Macam – Macam Arbitrase

Hal – hal yang akan dibicarakan pada bagian ini menyangkut masalah lembaga arbitrase. Tinjauan terhadap jenis lembaga arbitrase dilakukan melalui pendekatan ketentuan perundang – undangan dan aturan yang terdapat dalam Rv dan Undang – Undang Nomor 30 tahun 1999. Yang dimaksud dengan arbitrase ialah macam – macam arbitrase yang diakui eksistensi dan kewenangannya untuk memeriksadan memutus perselisihan yang terjadi antara para pihak yang mengadakan perjanjian. Sedangkan jenis arbitrase sendiri itu terbagi menjadi dua, yaitu: arbitrase ad-hoc dan arbitrase institusional.

1. Arbitrase ad-Hoc

Jenis arbitrase ad-hoc disebut juga sebagai arbitrase volunter. Ketentuan dalam reglement rechtvordering mengenal lembaga arbitrase ad-hoc. Pengertian arbitrase ad-hoc ialah arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu, atau dengan kata lain, arbitrase ad-hoc bersifat insidentil.

Dalam Undang – Undang Nomor 30 tahun 1999, pengertian arbitrase ad-hoc diadakan dalam hal terdapat kesepakatan para pihak, dengan mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan negeri untuk menunjuk seorang arbiter atau lebih dalam rangka penyelesaian sengketa para pihak. Akan tetapi, hal ini bukan sebagai syarat mutlak mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri untuk pra pihak dalam menentukan sendiri arbiter dalam menyelesaikan sengketa.

Pada prinsipnya, arbitrase ad-hoc tidak terikat dan terikat dengan salah satu badan arbitrase. Para arbiternya ditentukan sendiri dengan kesepakatan para pihak. Oleh karena arbitrase ad-hoc tidak terikat dengan salah satu badan arbitrase, dapat dikatakan jenis arbitrase tidak memiliki aturan cara tersendiri mengenai tata cara pemeriksaan sengketa. Dalam Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999, untuk dapat ditunjuk sebagai arbiter terdapat syarat ditunjuk atau diangkatnya arbiter, antara lain:

  • Cakap melakukan tindakan hukum.
  • Berumur paling rendah 35 tahun.
  • Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa.
  • Tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lainnya atas putusan arbitrase; dan
  • Memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif bidang pekerjaan paling sedikit selama 15 tahun.

Dapat dikatakan penunjukan arbiter oleh pihak dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase ad-hoc, arbiter yang ditunjuk harus memenuhi persyaratan penunjukan dan pengadaan arbiter. Menjadi pertanyaan penting disini, dimana para pihak atau pengadilan menunjuk arbiter – arbiter yang dengan persyaratan cukup tersebut? Apakah lembaga arbitrase institusional atau lembaga penyedia jasa arbiter lainnya? Hal ini yang belum diatur dalam Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999.

2. Arbitrase Institusional

Arbitrase Institusional (institutional arbitration) merupakan lembaga atau badan arbitrase yang bersifat “permanen”, karena sifatnya yang permanen tersebut, maka disebut “permanent arbitral body”. Arbitrase institusional sengaja didirikan pembentukannya ditujukan untuk menangani sengketa yang mungkin timbul bagi mereka yang mengkehendaki penyelesaian diluar pengadilan. Arbitrase ini merupakan wadah yang sengaja didirikan untuk menampung perselisihan yang timbul dari perjanjian.

Pihak – pihak yang ingin penyelesaian perselisihan mereka dilakukan oleh arbitrase, dapat memperjanjikan akan diputus oleh arbitrase institusional yang bersangkutan.

Arbitrase institusional ini tetap berdiri untuk selamanya, dan tidak bubar, meskipun perrselisihan yang ditangani telah selesai diputus. Sebaliknya, arbitrase ad-hoc akan bubar dan berakhir keberadaannya setelah sengketa yang ditangani selesai diputus. Selain daripada hal-hal yang diutarakan, kesengajaan mendirikan arbitrase institusional sebagai badan yang bersifat permanen, sekaligus disusun organisasinya serta ketentuan – ketentuan tentang tata cara pengangkatan arbiter maupun tata cara pemeriksaan persengketaan.
a. Arbitrase Institusional (Nasional) 
Seperti yang sudah dijelaskan, arbitrase institusional merupakan badan (body) atau lembaga (institusional) yang sengaja didirikan sebagai wadah permanen. Jika kesengajaan pendiriannya hanya untuk kepentingan suatu bangsa atau negara, arbitrase institusional tersebut dinamakan bersifat nasional. 
Ruang lingkup keberadaan dan yurisdikasinya hanya meliputi kawasan negara yang bersangkutan, semisal arbitrase institusional Badan Arbitrase yang berwawasan Nasional Indonesia. Ruang lingkup keberadaan dan yurisdikasinya hanya meliputi kawasan wilayah Indonesia. Meskipun BANI bersifat nasional, bukan berarti ia hanya berfungsi menyelesaikan sengketa – sengketa yang berkadar nasional, tetapi dapat juga menyelesaikan sengketa – sengketa yang berbobot institusinal, asal hal itu diminta dan disepakati oleh para pihak. 
b. Arbitrase  Institusional (Internasional) 
Disamping jenis arbitrase institusional yang bersifat nasional ada juga arbitrase institusional yang berwawasan internasional, bahkan badan – badan arbitrase internasional yang ada sudah lama didirikan, antara lain, Court of Arbitration of International Chamber of Commerce yang disingkat (ICC). The International Center for Settlement of Investment Disputes, (ICSID).
Kelebihan, Kekurangan dan Eksekusi putusan arbitrase.

1. Kelebihan Arbitrase
  • Sifat kesukarelaan dalam proses
Para pihak percaya bahwa ADR memberikan jalan keluar yang potensial untuk menyelesaikan masalah dengan lebih baik dari pada melakukannya dengan prosedur litigasi dan prosedur lainnya, yang melibatkan para pembuat keputusan dari pihak ketiga. Secara umum tidak seorangpun dipaksa untuk menggunakan prosedur ADR.
  • Prosedur yang cepat
Karena prosedur ADR bersifat kurang formal, maka pihak – pihak terlibat mampu untuk menegosiasikan syarat – syarat penggunannya. Hal ini mencegah penundaan dan mempercepat proses penyelesaiannya.
  • Keputusan non-judicial
Wewenang untuk membuat keputusan dipertahankan oleh pihak – pihak yang terlibat dari pada didelegasikan kepada pembuat keputusan dari pihak ketiga. Hal ini berarti bahwa pihak – pihak terlibat mempunyai lebih banyak kontrol dan dapat meramalkan hasil hasil sengketa.
  • Kontrol tentang kebutuhan organisasi
Prosedur ADR menempatkan keputusan ditangan orang yang mempunyai posisi baik untuk menafsirkan tujuan – tujuan jangka panjang dan jangka pendek dari organisasi yang terlibat, dan dampak – dampak positif dan negatif dari setiap pilihan penyelesaian masalah tertentu.
  • Prosedur rahasia
Prosedur ADR memberikan jaminan kerahasiaan bagi para pihak sama besar. Pihak – pihak menjajaki pilihan – pilihan sengketa yang potensial dan tetap melindungi hak – hak mereka untuk mempresentasikan data untuk menyerang balik mereka.
  • Hemat waktu
Dengan kelambatan yang cukup berarti dalam menunggu kepastian tanggal persidangan, prosedur ADR menawarkan kesempatan kesempatan yang lebih untuk menyelesaikan sengketa tanpa harus menghabiskan waktu bertahun – tahun untuk melakukan litigasi. Dalam banyak hal, dimana waktu adalah uang dan dimana penundaan penyelesaian masalah memakan biaya yang sangat mahal, penyelesaian sengketa yang dikembangkan melalui pengguna prosedur ADR mungkin merupakan alternatif penyelesaian masalah waktu yang tepat.
  • Hemat biaya 
Biaya ditentukan oleh kegunaan dan besarnya waktu yang dipakai, dan pihak ketiga yang netral rata – rata memasang tariff yang lebih rendah untuk mengganti waktu mereka habiskan daripada membayar para pengacara hukum.
  • Pemeliharaan hubungan
Cara penyelesaian menghasilakan kesepakatan – kesepakatan yang dinegosiasikan yang memperhatikan kebutuhan – kebutuhan pihak – pihak terlibat. Lebih jauh mampu untuk mempertahankan hubungan – hubungan kerja yang sekarang sedang berjalan maupun untuk waktu mendatang dari pada menang/kalah seperti misalnya litigasi.
  • Tinggi kemungkinan kesepakatan dilaksanakan
Para pihak yang telah mencapai kesepakatan pada umumnya cenderung untuk mengikuti dan memenuhi syarat – syarat kesepakatan, dan ketika sebuah kesepakatan telah ditentukan oleh pengambilan keputusan pihak ketiga. Faktor ini membantu para peserta dalam prosedur ADR untuk menghindari litigasi yang tidak efektif.
2. Kekurangan Arbitrase
Penyelesaian sengketa bisnis yang direkam dalam penelitian menunjukan bahwa jalan pengadilan dianggap kurang menguntungkan bagi pelaku bisnis maupun konsumen perorangan. Selain mahal, prosesnya panjang dan berbelit belit, kepercayaan pelaku bisnis dan masyarakat akan kenetralan pengadilan juga tidak mendukung dipilihnya pengadilan. 
Arbitrase kurang dikenal dan dipahami oleh kalangan bisnis maupun masyarakat luas. Klausul arbitrase dalam perjanjian dagang, kerja sama, sering mencantumkan kemungkinan pengajuan sengketa kedalam pengadilan, jika arbitrase tidak berhasil. Padahal sifat putusannya sudah final. Adakalanya, pelaku bisnis membawa kasus sengketanya kepengadilan, walaupun dalam kerja tercantum klausul arbitrase.
3. Eksekusi Putusan Arbitrase
a. Eksekusi Putusan Arbitrase Nasional 
Pelaksanaan putusan dilakukan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau Salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbitrase atau kuasanya kepada panitera pengadilan negeri dan oleh panitera diberikan catatan yang merupakan akta pendaftaran. 
Arbiter atau kuasanya wajib menyerahkan putusan lembar asli pengangkatan sebagai arbiter atau Salinan otentiknya kepada panitera pengadilan negeri. Hal ini merupakan syarat, jika tidak terpenuhi, berakibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan. Dalam Undang – Undang No 30 Tahun 1999, putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap danmengikat para pihak. Keputusan bersifat final dari arbitrase berarti putusan arbitrase merupakan keputusan final dank arena itu, putusannya tidak dapat diajukan banding, kasasi atau peninjauan kembali. 
Ketua pengadilan negeri dalam memberikan perintah pelaksanaan, perlu memeriksa dahulu apakah putusan arbitrase telah memenuhi kriteria:
  • Para pihak menyetujui bahwa sengketa diantara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase.
  • Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase dimuat dalam dokumen yang ditandatangani oleh para pihak.
  • Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa dibidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang undangan serta 
  • Sengketa yang tidak bertentangan kesusilaan dan ketertiban umum.
Putusan arbitrase dibubuhi perintah oleh ketua pengadilan negeri, dan dilaksanakan sesuai ketentuan pelaksanaan putusan dalam perkara perdata yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Pelaksanaan putusan diucapkan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah pemeriksaan ditutup.
b. Eksekusi Putusan Arbitrase Internasional 
  • Reglement of de Rechtvordering
Seperti sudah dijelaskan berdasarkan Keppres No 34 Tahun 1981 tanggal 5 Agustus 1981, pemerintah Indonesia telah mensahkan Konvensi New York 1958, yakni “Convention on the Recognitionand Enforcement of Foreign Arbitral Awrad”. Ini berarti secara yuridis, peradilan Indonesia mengakui keputusan arbitrase asing (yang diputus diluar negeri) serta bersedia menjalankan eksekusinya di wilayah hukum Republik Indonesia. 
Untuk mengatasi hambatan serta untuk merealisasi Keppres No 34 Tahun 1981, Mahkama Agung telah mengeluarkan Perma No 1 Tahun 1990, tanggal 1 maret 1990. Perma ini mengatur tentang ketentuan – ketentuan tata cara eksekusi putusan arbitrasi asing. Karena selama ini, sejak berlakunya keppres yang mensahkan Konvensi New York 1958, terdapat “kekosongan” acara yang menyangkut tata cara eksekusi putusan arbitrase asing. Sudah banyak kasus pengajuan permintaan eksekusi putusan arbitrase asing, namun permintaan tersebut selalu kandas atas alasan putusan arbitrase asing tidak dapat dieksekusi oleh pengadilan Indonesia, karena belom ada peraturan hukum acaranya. 
Sikap yang menyatakan eksekusi putusan arbitrase asing tidak dapat diterima, telah menndatangkan kritik dari berbagai kalangan, terutama dari masyarakat dunia luar. Barangkali hal inilah yang memotivasi Mahkama Agung untuk segera mengatasi kesenjangan tersebut untuk melahirkan Perma No 1 tahun 1990. Maka dengan lahirnya Perma dimaksud, sudah terisi kekosongan hukum. Dengan demikian, dapat diharapkan kepercayaan interdependensi dalam dunia dagang dan penanaman modal asing diharapkan semakin tumbuh kearah yang saling hormat menghormati serta saling menguntungkan. 
Ada beberapa asas yang dijadikan landasan (fundamentum) dalam menjalankan eksekusi putusan arbitrase asing. Pada dasarnya, asas – asas dimaksud, sejajar dengan asas yang tercantum dalam Konvensi New York 1958. (1)Asas Nasionalitas, Menurut asas ini, untuk menentukan dan menilai apakah suatu putusan arbitrase dapat dikualifikasikan putusan arbitrase asing, harus diuji menurut ketentuan hukum RI. Hanya sangat disayangkan, penjelasan lebih lanjut tentang asas nasionalitas tersebut belum bisa diperoleh dalam perma. (2)Asas Resiprositas, Asas resiprositas tidak semua putusan arbitrase asing dapat diakui (recognize) dan eksekusi (enforcement). Putusan arbitrase asing yang diakui dan yang dapat dieksekusi hanya terbatas pada putusan yang diambil dinegara asing: Yang mempunyai ikatan dengan RI, yakni ikatan “bilateral” dan Yang terikat bersama dengan RI dalam suatu konvensi Internasional (peserta ratifikasi suatu konvensi internasional).
  • Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999
Yang berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrasae internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Putusan arbitrasae dapat diakui serta dapat dilaksanakan diwilayah hukum Republik Indonesia, dengan syarat sebagai berikut: 
  1. Putusan arbitrase internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional.
  2. Putusan arbitrase internasional, terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum dagang.
  3. Putusan arbitrase internasional tersebut tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
  4. Apabila putusan arbitrase internasional yang menyangkut negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengket, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkama Agung Republik Indonesia, yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan terhadap putusan Mahkama Agung ini tidak dapat diajukan upaya perlawanan.
Jika dalam putusan arbitrase internasional terhadap pihak yang mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase internasional, atas putusan ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak dapat diajukan upaya banding atau kasasi. Sebaliknya, jika terhadap pihak yang menolak untuk mengakui dan melaksanakan suatu putusan arbitrase internasional, dapat diajukan upaya kasasi