Perusahaan merupakan sebuah bentuk kerja sama antara dua orang atau lebih di dalam bidang usaha bisnis untuk mencapai tujuan (keuntungan). Dalam islam, cara untuk mengembangkan harta yaitu salah satunya dengan cara berbisnis, dan harus dilakukan dengan aturan-aturan yang baik dan benar. Bagi seorang muslim aturan yang baik dan benar itu haruslah berdasarkan dengan syariat yang telah ditetapkan.
A. Bentuk-bentuk Perusahaan Islam
A. Bentuk-bentuk Perusahaan Islam
1. Perseroan Mudharabah
Mudharabah bagi pemerhati ekonomi Islam tentu tidak asing lagi. Yaitu sebuah bentuk kerjasama (syirkah) antara dua pihak dimana salah satu pihak berstatus sebagai pengelola (mudharib) dan yang lainnya berstatus sebagai pemodal (shahibul maal) dimana mereka bersepakat dalam hal bisnis dan pembagian keuntungan, sedangkan kerugian hanya dibebankan pada pemilik modal saja dan tidak pada pengelola. Apabila digambarkan dengan skema sebagai berikut:
Gambar 1. Mudharabah bentuk 1
Dengan kata lain, mudharabah adalah meleburnya badan (tenaga) di satu pihak, dengan harta dari pihak lain. Sehingga yang satu bekerja, sedangkan yang lain harta, kemudian kedua belah pihak sepakat mengenai prosentase tertentu dari hasil keuntungan yang diperoleh, semisal 33,3% dari laba atau 50% dari hasil keuntungan.
Syaikh Taqyuddin an-Nabhani dalam bukunya Nizhomul Iqtishod fil Islam menjelaskan bahwa perseroan mudharabah dapat pula berbentuk sebagaimana gambar berikut:
Gambar 2. Mudharabah bentuk 2
Bentuk mudharabah sebagaimana gambar diatas menjelaskan bahwa disebut juga mudharabah, apabila terdapat 3 orang (atau lebih) yang berakad dimana 2 orang (atau lebih) berstatus sebagai pemodal saja dengan masing-masing modalnya dan 1 orang lainnya (atau lebih) sebagai pengelola saja. Dimana pembagihasilan keuntungan berdasarkan kesepakatan dan kerugian yang hanya ditanggung oleh pemodal saja.
Mudharabah dengan bentuk lainnya adalah sebagaimana gambar berikut:
Gambar 3 Mudharabah bentuk 3
Bentuk mudharabah sebagaimana gambar diatas juga menjelaskan bahwa disebut mudharabah apabila 2 orang (atau lebih) yang berakad dimana 1 orang (atau lebih) bertatus sebagai pemodal dan satu orang lainnya bertatus sebagai pengelola dan pemodal sekaligus.
Ilustrasinya untuk mudharabah ini sebagai berikut:
Terdiri dari 2 orang yaitu A dan B membentuk kerjasama bisnis (syirkah) mudharabah, dimana A menyertakan modalnya sebesar Rp.1.000.000 dan B menyertakan modalnya sebesar Rp. 2.000.000. dan yang bertindak sebagai pengelola (yang menjalankan bisnis) adalah A. mereka bersepakat bagi hasil antara pengelola dan pemodal 60% : 40%. Bila keuntungan yang dihasilkan dari usaha bisnis mereka Rp.1000.000 maka bagian masing keduanya adalah:
Laba bersih: Rp. 1000.000
Total modal : 1 Juta + 2 Juta = 3.000.000
60% untuk pengelola : Rp.600.000
40% untuk pemodal : Rp.400.000
Maka bagian untuk A sebagai pengelola adalah Rp.600.000
Dan bagian untuk A sebagai pemodal adalah Rp.400.000 x 1 juta/3 juta = Rp.133.333
Maka total bagian untuk A sebagai pengelola dan pemodal adalah
Rp.600.000 + Rp.133.333 = Rp.733.333.
Sedangkan bagian untuk B adalah:
2 juta/3 juta x 400.000 = Rp.266.666. B hanya mendapat bagian sebesar Rp.266.666 dari total keuntungan bersih Rp.1000.000 sebab B hanya bertindak sebagai pemodal saja. Sedangkan A bertindak selain sebagai pemodal, ia juga bertindak sebagai pengelola. Sehingga ia mendapat 2 bagian.
Adapun musyarokah yang dalam dunia perbankan syariah dibedakan dengan mudharabah, sebenarnya sama saja dengan mudharabah, dan tidak ada bedanya. Hanya saja musyarokah adalah mudharabah dari bentuk yang terakhir, atau bentuk gambar 3 diatas.
Sebab musyarokah berasal dari kata syirkah yang berarti kerjasama bisnis. Jadi pada dasarnya semua bentuk perseroan dalam Islam dapat disebut sebagai musyarokah. Namun dalam dunia perbankan syariah, untuk membedakan antara bentuk mudharabah satu dengan bentuk mudharabah lainnya menggunakan kata mudharabah dan musyarokah. Apa penyebabnya bisa jadi bermacam-macam alasan, bisa jadi sebagai upaya untuk memudahkan masyarakat membedakan jenis-jenis pembiyaan syariah yang bersifat uncertainty contract, atau bisa jadi dunia perbankan syariah kurang memahami bahwa mudharabah memiliki bentuk lebih dari satu macam.
2.Perseroan Inan
Perusahaan (syirkah) Inan adalah bentuk kerjasama antara dua orang atau lebih dimana masing-masing pihak berstatus sebagai pengelola sekaligus pemodal. Disebut sebagai inan karena kedua belah pihak sama-sama terlibat mengelola harta mereka, sebagaimana dua penunggang kuda yang sama-sama mengendalikan kuda mereka dan sama-sama menariknya sehingga kedua tali kekang mereka serasi.
Gambar 4 Perseroan Inan
Ilustrasinya untuk perseroan Inan ini sebagai berikut:
Terdiri dari 2 orang yaitu A dan B membentuk kerjasama bisnis (syirkah) Inan, dimana A menyertakan modalnya sebesar Rp.1.000.000 dan B menyertakan modalnya sebesar Rp. 2.000.000. dan yang bertindak sebagai pengelola (yang menjalankan bisnis) adalah mereka berdua secara bersama-sama (A dan B). mereka bersepakat bagi hasil antara pengelola dan pemodal 60% : 40%. Bila keuntungan bersih yang dihasilkan dari usaha bisnis mereka Rp.1000.000 maka bagian masing keduanya adalah:
Laba bersih: Rp. 1000.000
Total modal : 1 Juta + 2 Juta = Rp.3.000.000
60% untuk pengelola : Rp.600.000
40% untuk pemodal : Rp.400.000.
Bagian untuk A:
Bagian untuk A sebagai pengelola adalah ½ x Rp.600.000 = Rp.300.000
Bagian untuk A sebagai pemodal adalah Rp.400.000 x 1 juta/3 juta = Rp.133.333
Maka total bagian untuk A sebagai pengelola dan pemodal adalah
Rp.300.000 + Rp.133.333 = Rp.433.333.
Bagian untuk B:
Bagian untuk B sebagai pengelola adalah ½ x Rp.600.000 = Rp.300.000
Bagian untuk B sebagai pemodal adalah Rp.400.000 x 2 juta/3 juta = Rp.266.666
Maka total bagian B sebagai pengelola dan pemodal adalah
Rp.300.000 + 266.666 = Rp. 566.666
Jadi pada intinya perbedaan antara perseroan mudharabah dengan perseroan Inan adalah, bahwa didalam perseroan Inan setiap perseronya adalah investor sekaligus pengelola (baik direktur maupun manajer). Tentu saja didalam perseroan mudharabah tidak demikian, sebab dalam perseroan mudharabah terdapat didalamnya salah pihak saja yang bertindak investor saja atau pengelola saja.
3. Perseroan Abdan
Bentuk perusahaan Abdan adalah kerjasama antara dua orang atau lebih dimana masing-masing pihak berstatus sebagai pengelola, namun masing-masing pihak juga tidak menyertakan modal mereka secara materil. Sebab tenaga pengelolaan masing-masing pihak sudah dianggap sebagai modal dalam usaha, sebab baik tenaga dan keahlian dianggap memiliki sifat sebagaimana modal materi yang bisa darinya diperoleh penghasilan bila dikelola.
Gambar 5 Perseroan Abdan
Ilustrasinya untuk perseroan Inan ini sebagai berikut:
Terdiri dari 2 orang yaitu A dan B membentuk kerjasama bisnis (syirkah) Abdan, dimana A merupakan seorang dokter dan B adalah seorang apoteker. Mereka bersepakat bisnis dalam masalah pengobatan, yang keuntungannya dibagihasilkan 60% untuk dokter dan 40% untuk apoteker. Bila keuntungan hasilnya sebesar Rp.1.000.000 maka bagian masing-masing adalah:
Bagian A : 60% x Rp.1.000.000 = Rp.600.000
Bagian B : 40% x Rp.1.000.000 = Rp.400.000.
4. Perseroan Wujuh
Perbedaan bentuk perusahaan wujuh dengan yang lainnya adalah bahwa perusahaan wujuh dibentuk karena adanya kedudukan, nama baik dan kepercayaan masyarakat terhadap masing-masing pelaku bisnis tersebut. Syirkah wujuh sebenarnya menekankan kepercayaan berdasarkan kredibilitas, bukan berdasarkan kedudukan dan jabatan materil.
Atau dalam bentuk berikut :
Yaitu dua orang yang membeli secara tangguh atas barang, dengan ketentuan hak atas kepemilikan terhadap barang yang dibeli seperti fifty-fifty atau satu banding dua dan atau seterusnya. Kemudian barang tersebut dijual secara tunai sehingga menghasilkan laba. Maka laba yang dibagi diantara mereka berdasarkan porsi hak kepemilikan atas barang tersebut.
5. Perseroan Mufawadhah
Perusahaan mufawadhah adalah kerjasama 2 mitra bisnis sebagai gabungan dari semua bentuk-bentuk perusahaan (syirkah) Islam, yaitu gabungan antara mudharabah, inan, abdan dan wujuh.
Ilustrasinya untuk perseroan Mufawadhah ini sebagai berikut:
6 orang melakukan perserikatan bisnis dengan jenis Perseroan Mufawadhah. Dengan akad pengelola 60% dan pemodal 40% Dengan ketentuan sebagai berikut:
5 orang memiliki modal dengan masing-masing:
Orang pertama = 1000.000
Orang kedua = 1500.000
Orang ketiga = 1000.000
Orang keempat = 1700.000
Orang kelima = 1000.000
Bekerja sama dengan 3 orang sebagai pengelola
Orang kedua = direktur utama : 50%
Orang ketiga = manajer A : 30%
Orang keenam = manajer B : 20%
Keuntungan = 10.000.000.
Maka perolehan masing-masing orang dalam perseroan tersebut adalah:
Pemodal
Orang pertama 1000.000/6200.000 x 4000.000 = 645.161,288
Orang kedua 1500.000/6200.000 x 4000.000 = 967.741,932
Orang ketiga 1000.000/6200.000 x 4000.000 = 645.161,288
Orang keempat 1700.000/6200.000 x 4000.000 = 1.096.744,192
Orang kelima 1000.000/6200.000 x 4000.000 = 645.161,288.
Pengelola
Orang kedua 50/100 x 6000.000 = 3.000.000
Orang ketiga 30/100 x 6000.000 = 1800.000
Orang keenam 20/100 x 6000.000 = 1200.000
Bagian masing-masing Orang
Orang pertama Rp. 645.161,288
Orang kedua Rp. 3.967.741,932
Orang ketiga Rp. 2.445161,288
Orang keempat Rp. 1.096.744,192
Orang kelima Rp. 645.161,288
Orang keenam Rp. 1.200.000,000
B. TujuanPerusahaan Islam
Dalam hukum ekonomi klasik berlaku semboyan " mencari keuntungan sebesar- besarnya dengan biaya sekecil- kecilnya". Untuk memahami semboyan ini harus memiliki pemikiran yang logis, sehingga tidak akan terjadi kesalahan yang fatal.Tujuan yang paling utama dari sebuah perusahaan adalah mendapatkan keuntungan/ profit.
Akan tetapi hal ini tidak sama dengan tujuan perusahaan menurut perspektif Islam. Islam selalu mengajarkan agar segala sesuatu yang kita lakukan harus berkiblat kepada Al-Quran dan Al-Hadist tak kecuali satu apapun, termasuk bidang bisnis ataupun perusahaan.
Tujuan perusahaan perspektif Islam tidak hanya berorientasi kepada keuntungan yang setinggi- tingginya, meskipun mencari keuntungan juga tidak dilarang.Suatu perusahaan yang berlaku sebagai produsen islami tidak dapat menjadi sebagai profit optimalizer.
Muhammad Nejatullah Siddiqi, dalam bukunya, The Ekonomic in Islam, memformulasikan tujuan perusahaan sebagai tujuan aktivitas ekonomi. Di mana tujuan yang sempurna menurut Islam dapat diringkas sebagai berikut: (1) memenuhi kehidupan seseorang secara sederhana; (2) memenuhi kebbutuhan keluarga; (3) memenuhi kebutuhan jangka panjang; (4) menyediakan kebutuhan keluarga yang ditinggalkan; dan (4) memberikan bantuan sosial dan sumbangan menurut jalan Allah swt.
Al-Habshi juga mengungkapkan bahwa Islam tidak menginginkan adanya eksploitasi dalam mencari keuntungan, lebih lanjut ia menjelaskan bahwa Islam menganjurkan pada umatnya untuk meraih kebaikan dunia dan akhirat.
Hal inilah yang menjadi dorongan bagi umat Islam untuk beraktifitas bekerja dalam mencari rizqi Allah, terutama dalam hal perdagangan untuk mencari keuntungan sebagai karunia Allah. Sebagaimana Firman Allah Swt dalam surat Al-Baqoroh Ayat 198:
"Tidak ada dosa bagimu untuk mecari karunia ( rezki hasil perniagaan) dari Tuhamu. Maka apabila kamu telah bertolak dari 'Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy'arilharam. Dan berdzikirlah ( dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar- benar termasuk orang- orang yang sesat."(QS. Al-Baqarah :198)
Dari ayat diatas, kita dapat menarik kesimpulan bahwasanya Allah swt telah memerintahkan kepada seluruh umatnya untuk bekerja, (mencari karuniaNya). Bekerja yang sesuai dengan syariat Islam, bekerja dengan pekerjaan yang halal.Allah juga tidak melarang umatnya untuk mengambil keuntungan dari transaksi- transaksinya, dengan cara mengambil keuntungan sesuai dengan batasan- batasannya tanpa adanya kedzoliman.
Faktanya, banyak sekali para pelaku ekonomi yang mencintai kenyamanan duniawi dengan cara mencari keuntungan untuk menambahn materi. Bahkan tidak sedikit para pelaku bisnis melakukan berbagai macam cara atau menghalalkan segala cara agar mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.
Mungkin hal ini bisa terjadi diakibatkan adanya kesalah fahaman manusia dalam memaknai kata- kata, semboyan dan suatu tujuan tentang mendapatkan keuntungan. Bagi si pelaku, jika hal ini tercapai, subjek pelakunya akan merasa puas atas apa yang telah ia dapatkan, walaupun nilai kepuasaan tersebut hanya sementara dan semu.
Di dalam Islam telah mengajarkan bagaiman seorang pengusaha harus berkiblat kepada syara' yang bersumber dari Al-Quran dan Al-Hadist. Bila kita gali dua sumber ini maka setidaknya pelaku perusahaan akan memperhatikan prinsip persamaan dan toleran (tasamuh), keadilan ('adalah), serta tolong menolong (taawun) yang saling menguntungkan.
Maksud prinsip dari persamaan dan toleransi di sini adalah bahwa semua manusia atau semua pihak yang memiliki ikatan dengan perusahaan mulai dari jabatan tertinggi hingga terendah secara struktur organisasi, sampai kepada konsumen mereka memiliki kedudukan yang sama dalam hukum Islam. Untuk itu mereka harus selalu berhati-hati dalam bertindak agar tidak terjadi kesalahan sehingga dapat terkena sanksi. Mereka juga harus saling menghargai fungsi satu sama lain dalam mengerjakan kewajiban masing- masing, yang mana pekerjaan ini harus dikerjakan sesuai dengan nilai dan norma yang ada.
Selanjutnya prinsip keadilan, yang dimaksud disini adalah, sebuah perusahaan harus adil dalam memberikan upah atau penghargaan lainnya (kompensasi) kepada para karyawanya secara adil dan proporsional.
Prinsip keadilan tidak hanya kepada sesame karyawan di dalam perusahaan, akan tetapi hal ini juga harus diterapkan kepada para konsumen. Perusahaan harus menciptkan produk yang berkualitas baik dan setandar dengan harga yang ditawarkan, sehingga konsumen tidak merasa dirugikan, serta mendapatkan kepuasaan secara batini.
Sedangkan untuk prinsip saling tolong menolong (taawun) memiliki hubungan yang sangat erat antara produsen dan konsumen. Pada hakikatnya produsen dan konsumen saling tolong menolong, kedua pihak ini mendapatkan apa yang diinginkan.
Produsen mendapatkan keuntungan materi jika seorang konsumen membeli produk yang sudah dikeluarkan oleh suatu perusahaan, begitu pula konsumen juga mendapatkan keuntungan dengan membeli produk tersebeut,konsumen dapat memenuhi kebutuhanya untuk dikonsumsi, sehingga mendapatkan kepuasaan.
Oleh karena itu, bertolak dari prinsip- prinsip ini produsen (perusahaan) bertanggung jawab secara individual atas barang yang dihasilkan, termasuk resiko yang mungkin timbul, (Partley, 1997:105) dalam (Djakfar Muhammad 2009).
Menurut falsafah Al-Quran, semua aktivitas yang dilakukan oleh manusia patut dikerjakan untuk mendapat falah.Jika falah ini dapat dicapai, manusia akan medapatkankebahagiaan dunia dan akhirat. Seperti yang kita ketahui bahwa rancang bangun ekonomi Islam juga mencapai falah.
Tujuan aktivitas ekonomi pertama-tama diarahkan untuk memenuhi kebutuhan diri tanpa berlebihan sebelum untuk memenuhi tuntutan (kewajiban) atas keluarga, baik jangka pendek mapun jangka panjang.
Setelah kepentingan ini terpenuhi, barulah mengekspansi untuk kepentingan eksternal yakni kebutuhan sosial.dalam hal ini, perusahaan dituntut untuk menyadari bahwasannya keuntungan perusahaan yang diperoleh pada hakikatnya merupakan amanah dan milik Allah swt.
Amanah yang dimaksud dalam hal ini adalah agar harta (maal)tersebut mempunyai fungsi sosial sehingga wajib disampaikan kepada sasaran yang berhak (mustahiq)sesuai dengan syariat Islam.
Dengan demikian, kekayaan tersebut tidak hanya terakumulasikan untuk kepentingan individu, (kepemilikan harta) akan tetapi perlu akan keseimbangan dengan kepentingan sosial sehingga tidak terjadi kesenjangan. Seperti yang dijelaskan dalam Al-Quran di surat Al-Muzzzamil ayat 7:
" ...dan orang- orang yang berjalan dimuka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang- orang yang lain lagi berperang dijalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Quran dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik...."(QS.73:20).